(ITEK
- ICT Solution) Ada dua masalah utama yang menghambat perkembangan
e-commerce di Indonesia. Pertama, masalah pembayaran (online). Kedua,
soal pengiriman. Sejak awal masa booming pertama e-commerce di Indonesia
(sekitar tahun 2000) hingga kini, sepertinya kedua masalah itu belum
sepenuhnya teratasi.
Hingga saat ini e-commerce yang berjalan di Indonesia adalah yang saya sebut bukan e-commerce murni atau e-commerce ala Indonesia, yaitu dimana masih terdapat banyaknya proses offline, seperti menelepon ke penjual, transfer via ATM, email/fax bukti transfer.
Banyak pakar maupun praktisi e-commerce Indonesia sudah lama menyuarakan kedua kendala tersebut dan mengharapkan campur tangan pemerintah untuk mendukung infrastruktur agar e-commerce dapat berkembang dengan sehat. Misalnya jaminan kepada konsumen dari sisi keamanan bertransaksi online serta regulasi lainnya.
Belakangan ini bank besar sudah turut berperan dalam mengatasi kendala pembayaran online dengan mulai memainkan peran dalam pembayaran e-commerce. Dengan adanya kemudahan pembayaran dari bank besar itu setidaknya ada tingkat kepercayaan yang tinggi dari konsumen serta kemudahan karena bertansaksi sama seperti transfer lewat internet.
Selain itu juga mulai bermunculan pemain payment gateway yang menawarkan solusi pembayaran online dengan kartu kredit maupun debit. Hal ini tentu saja adalah berita baik bagi dunia e-commerce di Indonesia.
Namun jasa pembayaran online seperti di atas tidaklah gratis. Beberapa situs membebankan biaya transaksi bank itu kepada konsumen. Hal ini menambahkan biaya kepada konsumen yang juga harus menanggung biaya pengiriman.
Ini membawa kita pada kendala kedua e-commerce di Indonesia yaitu pengiriman. Karena bentuk geografis Indonesia yang negara kepulauan, biaya pengiriman khususnya di luar pulau Jawa, tidak murah. Saya ambil contoh tarif JNE dari Jakarta ke Makassar untuk 1 kg sebesar Rp 28.000.
Karena itulah, toko online yang berhasil biasanya harus bisa menjawab kedua kendala tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memberikan diskon atau harga yang lebih murah dibanding offline, ataupun memberikan promo-promo menarik lainnya sehingga ada alasan bagi konsumen untuk melakukan pembelian online.
Apa Itu Social Commerce?
Di negara maju dimana transaksi online sudah mature seperti misalnya di Amerika, tidak ada kedua kendala itu. Keamanan pembayaran online lebih terjamin, mereka secara umum lebih terbiasa membayar dengan kartu kredit, serta masyarakat yang sibuk dan lebih menyukai kepraktisan dalam berbelanja online sehingga kalaupun ada biaya pengiriman tidak masalah.
Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Selain budaya masyakarat Indonesia yang mengutamakan pertemuan langsung serta menghargai pengalaman berbelanja, Indonesia juga punya sejarah kurang baik tentang e-commerce. Pada awal booming e-commerce yang pertama (sekitar tahun 2000) banyaknya penipuan kartu kredit membuat baik pembeli maupun penjual trauma.
Di sinilah social commerce hadir memberikan solusi. Social commerce adalah salah satu cabang e-commerce yang memungkinkan konsumen berinteraksi dengan difasilitasi oleh social media maupun interaksi sosial sesama konsumen.
Salah satu praktek social commerce berwujud situs-situs group buying yang dipelopori oleh Groupon dan kemudian bermunculan situs-situs kloningnya karena model ini dianggap berhasil/menguntungkan.
Prinsip group buying adalah konsumen akan mendapatkan harga tertentu (diskon) apabila tercapai jumlah pembelian tertentu. Misalnya, sebuah voucher bernilai Rp 100.000 bisa dibeli dengan harga Rp 50.000 apabila ada 100 orang pembeli.
Penjualan voucher ini biasanya hanya dalam waktu kurang dari 3 hari sehingga memberikan efek buru-buru kepada konsumen (takut kehabisan). Apabila dalam 3 hari tidak tercapai 100 penjualan, maka pembeli gagal mendapatkan harga Rp 50.000 dan karena itu kepada mereka akan dikembalikan uang yang sudah dibayarkan.
Dengan model seperti ini, kedua kendala e-commerce pun teratasi. Tidak ada hambatan pembayaran online karena biasanya pembayaran dilakukan secara transfer bank. Konsumen yang sudah melakukan pembayaran akan langsung mendapatkan kiriman kode voucher ke email masing-masing. Ini menjawab masalah pengiriman.
Booming Situs Diskon
Mungkin karena kedua kemudahan itu maka situs-situs kloning Groupon ini bermunculan. Tidak hanya di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tampaknya social commerce merupakan salah satu strategi penjualan yang dianggap menguntungkan banyak pihak.
Kami mencatat saat ini di Indonesia ada setidaknya 20 situs Groupon clone yang juga sering disebut sebagai daily deals ini. Sebut saja misalnya Disdus (Groupon Indonesia), Living Social Dealkeren, Outlet.co.id, Ogahrugi.com, Deal.co.id, Lapar.com, Hemat.com, dan masih banyak lagi.
Persaingan bisnis, strategi bisnis, kemudian membuat banyak situs daily deals tidak lagi mengikuti aturan group buying di atas. Saya mengamati banyak situs daily deals kemudian tidak lebih dari situs e-commerce biasa yang menawarkan diskon dalam periode tertentu.
Tidak hanya voucher, mereka pun saat ini menjual produk/barang. Setelah mengumpulkan sejumlah member yang nyaman bertransaksi dalam situs tersebut, maka tidak ada salahnya bila mereka juga bisa menjual apa saja.
Maka, menurut saya, justru para pelaku e-commerce dapat belajar dari keberhasilan situs-situs social commerce ini. Saya berikan salah satu contoh sebagai ilustrasi, yaitu nilai transaksi tertinggi yang pernah terjadi di situs kami (tahun 2011).
Ini adalah sebuah voucher restoran terkenal senilai Rp 26.000 (diskon 50% dari harga asli Rp 52.000). Voucher ini berhasil terjual lebih dari 17.000 voucher dalam dua hari. Itu berarti nilai transaksi satu voucher saja lebih dari Rp 442,000,000.
Tentu saja tidak semua deal/voucher berhasil mencapai penjualan setinggi itu, namun contoh ini setidaknya memberikan ilustrasi tentang besarnya kemungkinan transaksi yang dapat dicapai.
Motor e-Commerce
Biar bagaimana pun ini adalah salah satu strategi penjualan, tidak peduli apakah sesuai persyaratan e-commerce murni atau bukan (transaksi terjadi di dalam situs web), yang penting adalah konsumen nyaman dan bersedia melakukan pembelian di situs-situs social commerce ini. Itulah sebabnya menurut saya social commerce akan menjadi salah satu penggerak e-commerce di Indonesia.
Berbeda dengan di luar negeri di mana e-commerce adalah barang lama dan sebuah produk budaya yang sudah matang, lalu kemudian datang inovasi bernama social commerce beberapa tahun yang lalu, di Indonesia, mungkin yang akan terjadi adalah sebaliknya. Social commerce akan muncul menjadi penggerak yang mendorong percepatan pertumbuhan e-commerce di Indonesia.
Suatu hari saya pernah duduk bersama dengan para pemilik dan bos-bos toko online besar di Indonesia, seperti Tokobagus.com, Multiply.com, Tokopedia.com dan Blibli.com. Pengalaman itu mengingatkan saya pada e-commerce generasi pertama dimana para pemainnya juga adalah pemain besar (konglomerat) seperti Group Lippo, Clubstore, dan sebagainya, yang kemudian hilang hingga namanya pun tidak bisa saya ingat saat ini.
Pertanyaan dalam hati saya, apakah mereka akan berhasil menjawab tantangan dan semua kendala yang selam ini menghambat pertumbuhan e-commerce di Indonesia? Kita tunggu saja.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Apa Itu Social Commerce? di blog Angka Belia jika anda ingin menyebar-luaskan artikel ini dimohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.